Please, Just Stay (Sahabat Selamanya) Part 2

.....
Tak terasa, sudah hampir setengah tahun aku jadi anak SMA. Sebulan lagi UTS, tapi sekarang aku sudah mulai belajar untuk persiapan ujian. Kalau mau ujian begini, aku mendadak rajin. Sekarang saja, walaupun hari Minggu, buku Fisika, Matematika, Biologi dan Kimia menumpuk di depanku. Aku ingin masuk ke jurusan IPA, lalu kuliah di Jurusan Farmasi. Aku masih berusaha menyelesaikan soal fisika yang entahlah soal dari planet mana yang kukerjakan ini. Sulit banget. Tiba-tiba, mama memanggilku dari bawah,
Adel, tolong antarkan kue ke rumah Tante Maya”
“Oke, Ma,” teriakku dari kamar dan segera turun ke dapur.
Oh iya, siang nanti ada arisan ibu-ibu di rumahku dan Mama membuat cup cake yang enak sekali. Mamaku memang berbakat sekali dalam hal membuat kue. Aku mencium tangan mama lalu berlari keluar menuju pintu. “Jangan lari, sayang, nanti kuenya jatuh,” teriak Mama dari dalam rumah. “Oke, Ma. Assalamualaikum.”
Aku menyeberang ke rumah Tante Maya, kemudian mengetuk pintu. Aku terkejut Tante Maya membukakan pintu dengan menangis. “Lho, kenapa, tante?” aku bertanya pada beliau. “Abi… overdosis,” kata Tante Maya pelan tapi berhasil membuatku serasa tersambar petir. Overdosis? Abi? Aku masih belum bisa mempercayai pendengaranku. Pertanyaanku menggantung di langit-langit. Aku menjatuhkan begitu saja piring plastik berisi muffin buatan mama dan berlari ke kamar Abi. Ketika itu aku melihat Abi di gendong Pak Wawan. Tanpa sadar, aku menjerit histeris, dan menangis. Aku benar-benar melihat keadaan Abi yang, hmm aku tak bisa menjelaskannya. Kejang-kejang, keluar keringat, seperti itu. “Tante, aku ikut ke rumah sakit ya. Please, Tante,” kataku disela-sela tangisku. “Iya, iya sayang. Tapi kamu harus izin mama kamu ya”, “Iya, Adel bawa ponsel, kok. Sekarang berangkat langsung aja.” Kali ini aku benar-benar merasakan kekhawatiran yang sangat besar.
Mobil sedan hitam ini melaju cepat menuju rumah sakit. Tante Maya tidak berhenti membacakan doa untuk Abi. Aku pun juga membantu berdoa. Ya Tuhan, aku nggak mau kehilangan sahabatku ini. Selamatkan dia, ampuni dia. Aku tak berhenti berdoa di sela-sela tangisku. Akhirnya kami sampai di rumah sakit, di IGD. Abi segera dibawa ke ruang penanganan. Hatiku kalut, perasaanku saat ini nggak jelas. Entah apa yang ku rasakan sekarang. Sedih, kesal, marah, menyesal, khawatir, dan perasaan lain yang tak bisa ku jelaskan. Semua bercampur aduk. Firasatku selama ini benar bahwa sahabatku itu memakai obat-obatan terlarang. Aku masih tidak percaya. Sungguh. Abi anak baik dan tidak punya masalah apapun, terlebih masalah keluarga. Dia tidak pernah mempermasalahkan papanya yang sering keluar kota, itu yang pernah dia katakan padaku.
Pandanganku tertuju pada Tante Maya yang berada di sebelahku, perempuan itu tidak berhenti menangis dan terus mengucap dzikir. Aku mencoba menenangkannya, dengan beribu pertanyaan terngiang di kepalaku. Seperti mengerti apa yang sedang ku pikirkan, tiba-tiba Tante Maya memulai ceritanya, “Sebenarnya Abi sudah mulai make ketika kami di Medan. Waktu kelas 9, dia terpengaruh pergaulan teman-temannya. Waktu itu kami juga nggak sempat memperhatikannya karena kesibukan kami yang menumpuk. Dani hampir nggak lulus, Del. Tetapi kami tidak mau itu terjadi. Tante dan papanya Abi sudah membawanya ke rehabilitasi yang ada di sana. Tante juga kaget dan baru mengetahui kalau Abi make lagi, ya, tadi pagi itu. Maafin Abi ya, Adel. Kamu pasti kesal sama dia.” Aku mendengarkannya dengan serius. Perasaan campur aduk itu datang lagi, tapi agak berkurang. Lagi-lagi, aku tidak mempercayai pendengaranku. “Nggak, Tante, nggak. Aku nggak kesal sama Abi. Setiap manusia pernah salah, kan? Tante sabar ya, semoga Abi baik-baik saja dan nggak melakukan kesalahan yang sama.” Tiba-tiba, Tante Maya memelukku dan menangis di pundakku. “Terima kasih, Adelia. Abi nggak akan pernah menyesal punya sahabat seperti kamu,” bisiknya.
Tak lama kemudian, seorang dokter yang menangani Abi keluar dari ruangan dan menghampiri kami, “Keluarga Abi Fahreza, silahkan melihat keadaan pasien. Keadaannya sudah agak membaik, untung saja penanganannya tepat. Tapi untuk beberapa hari, pasien harus rawat inap.” Aku dan Tante Maya berdiri dengan wajah gembira, syukurlah. “Terimakasih, Dokter,” ucapku dan Tante Maya hampir bersamaan. Setelah itu kami menuju ke kamar Dani.
Di kamar bercat dinding putih ini, aku melihat Abi terbaring lemah di tempat tidur bersprei hijau khas rumah sakit. “Hai, Abi…” sapaku saat memasuki kamar. “Del, maafin aku. Aku udah ngecewain kamu, kamu pasti malu punya sahabat kayak aku. Maaf, Del, maaf,” ucapnya ketika aku duduk di samping tempat tidurnya. “Nggak, Bi. Kamu jangan mikir gitu, dong. Aku nggak nyesel kok, aku nggak malu. Aku cuma pingin, habis keluar dari rumah sakit, kamu harus buang barang-barang haram itu, janji ya? Dan jangan make lagi” kataku setengah terisak. Abi mengangguk dan tersenyum. Senyumnya membuatku yakin bahwa dia benar-benar ingin sembuh dan meninggalkan obat terlarang alias tiket ke neraka itu. “Ma, maafin Abi ya, udah ngecewain Mama,” Dani berkata sambil memandang Tante Maya dengan penuh penyesalan. “Iya, sayang. Kamu janji sama mama ini yang terakhir kalinya.” Lalu ibu dan anak itu saling berpelukan. Aku terharu dengan suasana ini, air mataku yang bandel ini menetes lagi. Kemudian pelan-pelan aku meninggalkan kamar. Aku berharap semua berakhir bahagia.
Hari Minggu ini adalah hari yang buruk bagiku. Bahkan langit Bandung yang biasanya cerah, hari ini mendung. Ya, perpisahan lagi. Hari ini keberangkatan Abi menuju Surabaya untuk menjalani rehabilitasi kali keduanya. Setelah pulang dari rumah sakit, orangtuanya memutuskan agar Abi direhab lagi agar benar-benar sembuh. Baru dua bulan pertemuanku dengan Abi dan kini kami harus berpisah lagi. Sedih, tapi kali ini aku paham, ini untuk kebaikan Abi. Untuk kebaikan semuanya, mungkin untukku juga. “Abi, cita-citamu apa?” tanyaku sebelum Abi berangkat. “Dokter,” jawabnya singkat tapi mantap. “Dokter”, gumamku, “Waaaah, kita bisa kerja sama, dong. Kamu buka klinik, ntar aku yang buka apoteknya, gimana?” ucapku dengan ekspresi ceria. Ceria yang dibuat-buat tentunya, karena sebentar lagi aku akan berpisah dengan Abi. Untuk kali kedua juga. “Ide bagus, Del. Cerdas. Kamu harus belajar baca tulisan aku dulu, kalau gitu. Jangan sampai kamu salah ngasih obat, ntar ada orang sakit flu, kamu kasih obat panu. Hahaha,” katanya sambil ketawa puas. “Oooh, meremehkan Adelia Zahrana, ya? Awas aja ya, I can do better, tau,” kataku gemas sambil menggelitiki pinggang Dani. Kami tertawa lepas pagi itu. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi perpisahan, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah aku nggak mau kelihatan sedih di mata Abi.
Capek tertawa aku diam sebentar, kemudian bertanya ke Abi, Abi, perpisahan ini sementara aja, ‘kan? Kamu janji bakal balik lagi ke Bandung, ‘kan? Terus abis itu nggak bakal pergi lagi, iya ‘kan?” tanyaku. “Iya, Del, janji. Kalau aku sudah sembuh aku balik lagi ke Bandung kok. Doakan, ya.” Aku mengangguk dan tersenyum, kami mengaitkan jari kelingking sebagai simbol perjanjian. Akhirnya tiba saat perpisahan itu. Aku melepas kepergian Abi dengan tersenyum, aku sudah tenang sekarang. Mataku mengikuti mobil sedan yang terus melaju meninggalkan kompleks perumahan ini sampai akhirnya hilang dari pandanganku.
Waktu seakan berjalan cepat. Menciptakan sejarah-sejarah yang tak akan terlupakan oleh siapapun yang terlibat di dalamnya. Sudah beberapa bulan terlewati sejak perpisahanku dengan Dani. Aku akan naik ke kelas 11. Ujian Kenaikan Kelas sudah aku lalui dengan penuh tantangan dan syukurlah tidak ada mata pelajaran yang harus diulang, termasuk Fisika yang kuanggap sulit itu. Aku tinggal menunggu hasil. Semoga saja tidak mengecewakan.
Sore ini, aku menikmati suasana yang santai. Membaca novel sambil duduk di atas ayunan di taman samping rumahku adalah kegiatan favoritku. Suasana sore ini sangat cerah. Langitnya terlihat bagus, semburat-semburat matahari senja ikut menghiasi langit sore yang selalu kusukai ini. Novel yang kubaca ini menceritakan tentang sahabat yang sudah lama berpisah kemudian bertemu kembali, tetapi sayangnya salah satu dari mereka mengalami kejadian yang membuatnya amnesia. Ketika amnesianya pulih, dia harus menerima kenyataan bahwa sahabatnya telah meninggalkannya untuk selamanya karena suatu penyakit. Miris banget, batinku. Jangan sampai aku mengalami kejadian semacam itu. Aku jadi teringat Abi, kapan dia akan kembali? Aku merindukannya. Aku berharap dia masih ingat akan janjinya, bahwa dia akan kembali, aku berharap dia kembali secepatnya, aku berharap sekarang dia berdiri di depanku… “Ehem.” Suara itu sepertinya aku kenal. Aku menurunkan novel yang menutupi wajahku. Entahlah, tapi sepertinya ketika aku berharap tadi ada bintang jatuh atau semacamnya sehingga harapanku terkabul. “Abi? Haii, Abi beneraaan…” aku berdiri dari ayunan dan melompat girang. Tanpa sadar aku memeluk Abi. “Hai, eh… Waaah, lagi mikirin aku, ya?” Aku tidak menjawab sampai akhirnya aku melepaskan pelukanku. Anak ini tambah tinggi, atau mungkin aku yang semakin menyusut. Selain itu, dia juga tambah kurus. Ini benar-benar di luar dugaanku. Aku kira rehab butuh waktu setahun atau dua tahun atau bertahun-tahun. Ketika aku bertanya hal itu pada Abi, dia menjelaskan bahwa kata pihak rehabilitasi, sebenarnya dia belum termasuk pecandu berat. Waktu itu dia seperti mendapatkan sugesti untuk memakai lagi. Jadi, dia hanya perlu menghilangkan sugesti-sugesti yang seringkali muncul itu. Aku nggak pernah salah beranggapan bahwa Abi itu anak baik, hanya saja waktu itu lingkungannya yang kurang mendukung. “Terus kamu dapet barangnya dari mana?” tanyaku. “Aku dikasih sama anak kelas kita, Ody. Dia itu pemakai dan pengedar. Dia juga mengedarkan ke anak-anak lain.” Ody? Oh, pantesan. Seminggu sebelum UKK, ada polisi datang ke kelas dan menanyakan Ody. Dia memang bandel banget, sering bolos pelajaran dan tidur di kelas. Biar tahu rasa.
Abi, main yuk. Emm, apa ya? Catur, yuk. Aku sekarang jago main catur loh. Aku bakal ngalahin kamu ntar.” Abi mengiyakan tantanganku. “Oh, oke. Siapa takut? Kamu nggak akan bisa mengalahkan Dokter Abi, hahaha,” katanya. Tertawanya itu lho, mirip karakter Pahlawan Bertopeng yang ada di kartun Crayon Sinchan. “Ohooo, gitu ya? Oke, jangan ngoceh doang, ayo kita buktiin. Bentar ya, aku ambilin caturnya.” Aku masuk ke rumah dan mengambil papan catur di bawah meja ruang keluarga.
Sore itu, kami bermain catur. Permainan kami diwarnai dengan penuh tawa dan kecurangan-kecurangan. Kami main dengan asal-asalan. Benar-benar beda dari permainan aslinya yang dimainkan dengan penuh keseriusan. Ketika permainan berakhir, tidak ada yang menang atau kalah. “Adel, Abi. Masuk yuk, nih, brownies coklatnya udah jadi.” Aku dan Abi saling bertatapan, lalu saling melempar senyum. Setelah itu, kami bangkit dan berlari ke dalam rumah menuju dapur. Papan catur itu tergeletak di teras rumah dengan pion-pion yang berceceran di atas lantai. Setelah berada di dapur, kami segera menyantap brownies itu dengan rakus sampai tak tersisa sedikitpun. “Enak banget nih, Tante. Bikin toko kue laku tuh kayanya”, kata Abi dengan mulut penuh dengan brownies. Mama tertawa dan sepertinya menyetujui rencana Abi. Ya, memang enak sekali dan sepertinya Mama memang harus memulai bisnis toko kue.
Dear Diary…
Sore ini adalah yang paling indah bagiku. Aku bertemu dengan sahabatku lagi. Yang terpenting, Diary, setelah ini tidak akan ada perpisahan lagi. Kita akan bersahabat selamanya. Selamanya, Diary… Itu perjanjian kita.
Adel + Abi = Sahabat selamanya (ini perjanjianku dengan Abi, loh). Mm, tapi kalau selanjutnya ada cerita lain antara aku dan Abi, yaaa ngga tau lagi sihh hehehehe upss ._.
Note: aku udah putus sama Zian :v
Aku menutup buku harian biruku itu. Aku suka akhir yang bahagia. Abi telah memberiku pelajaran tentang persahabatan yang sesungguhnya, saling menerima kesalahan satu sama lain. Terimakasih. Kini, kuputuskan untuk pergi tidur. Aku tak sabar menunggu hari esok, karena esok dan seterusnya aku akan memulai lagi hariku yang ceria. Tanpa perpisahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kecerdasan Ganda

Teori Revolusi Sosio-Kultural dan Penerapannya dalam Pembelajaran

Teori Sibernetik dan Penerapannya dalam Pembelajaran