Please, Just Stay (Sahabat Selamanya) Part 1

Well, ini remake nya cerpen yang pernah aku bikin tahun 2014 (3 tahun lalu). Dulu judulnya Sahabat Selamanya, itu yang tulisan di dalam kurung. Trus aku tambahin karena ngerasa cocok aja kalo judulnya jadi itu. Hehe, dasar kebule-bule an :v Cerpennya pernah aku share di web gitu. Trus di cerita ini ada beberapa bagian yang diedit, termasuk nama tokohnya jugak hihi. Happy reading!

Sudah sekitar sembilan tahun aku berpisah dengan sahabatku, Abi. Waktu yang lama sekali. Kami berpisah setelah lulus TK. Dia pindah ke Medan untuk ikut papanya yang bekerja di sana. Tante Maya, mama Dani tetap dengan usaha butiknya. Dulu, ketika Abi masih tinggal di Bandung, di rumahnya yang ada di depan rumahku, aku sering main ke sana dan kadang-kadang aku diberi baju yang ada di butik Tante Maya. Gratis, tis. Mama sampai nggak enak hati, tapi Tante Maya terus memberiku barang-barang dari butiknya. Tidak hanya baju, sih. Tante Maya juga melarang Mama untuk membayar semuanya. “Anggap aja kita ini keluarga, jeng Hanni” katanya ketika Mama hendak membayar pakaian yang diberikannya untukku sambil tersenyum manis. Hmm, sekarang aku kangen Abi. Gimana ya, kabarnya sekarang? Apakah masih gendut seperti dulu dengan rambut batok kelapanya? Aku mengingat-ingat saat aku bermain sepeda dengannya, main ayunan, kejar-kejaran. Dia beda, nggak seperti anak cowok yang pemalu tapi mau. Tapi entahlah, bisa jadi sekarang dia telah berubah. Tentu saja, sekarang aku masuk SMA, begitu juga Abi, pastinya.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah baruku, SMA Bakti Nusa. Setelah menjalani MOS tiga hari yang melelahkan, akhirnya aku resmi menjadi siswi di sekolah populer ini. Aku memasuki kelasku, X-1. Banyak sekali yang belum ku kenal, hanya beberapa. Ada Nia, teman sekelas waktu MOS. Ada Gio, dulu satu SMP denganku, tapi nggak pernah sekelas. Aku mengenalnya karena kami mengikuti ekskul yang sama, karate. Iya, aku suka karate, seperti idolaku yang ada di Spongebob Squarepants, Sandy Chic. Tapi aku lagi bosen sama karate, aku ingin ekskul Paduan Suara aja. Oke, keluar dari topik ekskul. Aku mengamati anak cowok yang duduk di bangku pada baris keempat deret ketiga. Kayak kenal. Yap, nggak salah lagi, itu Dani. Aku hafal banget wajahnya. Dia agak berubah, sedikit. Style rambutnya makin kece, mirip landak gitu deh. Sebutannya apa ya? Ya, itu deh pokoknya. Aku kurang paham sama fashion. Dia tidak gendut seperti dulu, dan kalau boleh aku jujur dia makin keren. Aku mendekatinya dan menyapa, “Hai, kamu Abi, ‘kan? Masih inget aku dong”. Aku berdiri di depannya sambil senyum-senyum. Berharap dia mengenai senyumku. Dani mengamatiku sebentar, seperti menginterogasi. Duh, kayaknya dia lupa deh. Awas aja sampai lupa, aku akan menghapuskan dia dari lembar kehidupanku. Haha, okelah ini terlalu berlebihan karena ternyata dia masih mengenaliku. Yuhuuu. “Adel kan? Makin cantik aja kau ya, hehe. Rambutnya makin panjang pun. Nggak pengen tuh dipendekin lagi kaya dulu?”. Wah, ternyata dia masih ingat rambutku yang pendek, potongan seperti anak cowok dan suka memakai gel rambutnya Bang Angga, kakakku yang sedang kuliah di Jogja. “Nggak, ah. Lagi pengen aja rambut panjang. Biar tambah kece,” jawabku ngasal.
Abi pindah ke Bandung sudah sekitar satu bulan yang lalu. Dia tidak mengikuti MOS karena dia memang baru masuk hari ini. Lalu kami ngobrol seru banget. Kami saling berbagi cerita selama sembilan tahun berpisah, mengingat masa-masa kecil yang aneh banget seperti waktu kami membuat pesta minum teh bersama boneka-boneka, dan kami mulai tersadar, kenapa dulu Abi mau diajak main boneka? Abi juga bercerita ketika di Medan dia sempat mempunyai pacar, namanya Talia, dia cantik katanya. “Tapi nggak lebih cantik dari kamu, Del,” katanya disela-sela cerita. Hih, bisa-bisanya dia bilang gitu, “Huuu, gombal gombaaal”. Kembali ke cerita, dia hanya sekali datang ke rumah Ratu untuk mengajaknya nge-date. Setelah itu tidak pernah sama sekali karena ayahnya Talia galak banget. Setelah kejadian itu dia dan Talia putus karena ayah  Talia melarang anaknya untuk pacaran. “Kumisnya itu lho, bahh mirip kali sama Pak Raden”, ekspresi Abi membawakan ceritanya membuatku tertawa. Apalagi cara dia bercerita ada sedikit logat bataknya. Ahahaha, sial banget lo. Eh, tapi bener juga sih, kalau kamu nggak langsung putus, besoknya kamu udah dijadiin gule sama ayahnya kali,” kataku kemudian kembali tertawa terbahak-bahak. Teeet teeet… Jam pelajaran pertama dimulai, aku akhirnya memutuskan duduk dekat Abi.
Abi, kamu sekarang tinggal dimana? Nggak balik ke rumah lama?tanyaku ketika makan siomay di kantin bersama Dani saat jam istirahat. “Aku sama Mama dan Papa nyewa rumah dulu soalnya sibuk ngurus sekolahku. Tapi besok atau lusa kami bakal pindah ke rumah lama, jawabnya sambil mengunyah-ngunyah siomay. Aku senang mendengarnya. Nggak sia-sia aku nungguin selama 9 tahun. Dulu, waktu Abi mau pindah, aku menangis keras banget. Aku tidak suka perpisahan, dan semua juga tidak menyukainya. “Beneran, Bi? Yess, rumah kita deketan lagi dong. Asiiik!” Abi tersenyum dan mengangguk. Oh, wait, aku mengamati ada yang berbeda di raut wajah Abi. Kenapa dia seperti ketakutan gitu? Dia gemetaran. Aku memegang tangannya. Dingin. Berkeringat. Lalu aku melihat keringat juga mengalir di pelipisnya, Abi sakit? Di hari pertama masuk sekolah? Nggak mungkin. “Abi, kamu…“, “Bentar, Del. Aku ke kamar mandi dulu”. Abi memotong pertanyaanku dan berlari ke kamar mandi dengan tergesa-gesa. Semoga Abi baik-baik aja, batinku.
Pulang sekolah. Hari ini menyenangkan. Ya, memang karena itu. Karena pertemuanku dengan Abi, sahabat baikku. Tidak lama setelah aku keluar dari gerbang, Pak Ucup datang menjemputku. Aku segera masuk mobil. Habis ini, tidur ah.. pikirku. Lagian capek juga hampir seharian di sekolah. Capek juga cerita-cerita sama Abi, sampai tenggorokan kering. Tak lama kemudian, sampai rumah juga. Aku menghampiri Mama di dapur dan mengambil cupcake buatan mama. Aku memakan cupcake sedikit-sedikit sambil menceritakan pertemuanku dengan Abi pada mama. Aku juga tidak lupa bilang bahwa Abi akan pindah ke rumah lamanya. “Wahh, bagus dong. Biar anak mama ini kalo minggu pagi nggak molor mulu.”, katanya sambil mengiris wortel. “Idiih, mamaaa. Ahahaha, Adel ke kamar dulu ya, Ma. Mau bobo siang”. Aku berlari ke kamarku di lantai dua, dan langsung saja aku membaringkan badan di kasurku favoritku. Ketika hampir sampai di alam mimpi, terdengar nada notifikasi Whatsapp dari handphoneku.
Halo, Adel” itu yang tertulis di layar handphoneku.
Siapa nih nge whatsapp aku? Nggak ngasih identitas lagi, hanya nomor yang tak ku kenal. Aku mencoba mengamati foto profilnya, tapi hanya ada gambar gitar aja.
Maaf ini dengan siapa ya?” Ketikku di chat room. Beberapa detik kemudian… Tring. Ada voice note!
Aku membuka voice note itu. “Abi woyy. Ahahaha. Formal amat sih, buk
Aku tersenyum. Ternyata orang itu adalah Abi. Aku membalas dengan mengetik pesan. Suaraku pasti masih serak karena tadi sempat tertidur sebentar.
Oalahh, Om Abi. Dapet nomerku darimana?”, tanyaku.
Tring. Cepet banget balesnya
Enak aja panggil om -_- dari facebook
Aku tertawa kecil, “Masih jaman main facebook? ahahaha
Aku baru ingat ternyata aku mencantumkan nomor HP di Facebook. Lalu, aku chattingan dengan Abi sampai ponselku lowbatt. Aku melihat jam dinding. Jam 5 sore. Ya ampun berarti udah dua jam aku chatting whatssapp sama dia. Oke, tanganku udah pegel banget dan hapeku udah panas banget. Akhirnya, aku bilang kepada Abi lewat pesan terakhirku,
Abi, udahan ya. Hapeku udah sekarat nih. Lowbatt. Besok ketemu lagi, Daaahh”. Lalu aku men-charge handphoneku dan keluar untuk mandi dan membantu Mama menyiapkan makan malam. Papa pulang dari Manado malam ini.
Hari ini, aku bersemangat karena Abi akan kembali ke rumah lama. Yup, menjadi tetangga depan rumah. Waktu chattingan kemarin, dia bilang akan pindah sekitar jam 4 sore, setelah pulang sekolah. Sebelum berangkat, aku minta izin ke Mama dan Papa untuk mampir dulu ke rumah Dani saat pulang sekolah nanti. Aku mau membantunya beres-beres. Aku kan sahabat yang baik hati dan suka menolong. Abi. ntar aku ke rumahmu ya. Aku bantuin beres-beres deh, lagian aku juga kangen loh sama mama papamu,” kataku ketika sampai di kelas. Aku langsung mengambil tempat di deket Abi, seperti kemarin. “Oh, gitu. Sama aku nggak kangen? Mending gak usah balik ke Bandung, deh. Aku balik ke Medan, deh,” kata Abi cemberut. “Hah? Ih apaan sih ahaha iya gak kangen kok. Sono, sono. Dasar baper” kataku, menjahili balik.  “Bener nihh? Oke bye.” Abi mengambil tasnya dan pura-pura akan keluar kelas. “Eh eeh, iih jangan jangan. Bercanda doang koook”. Abi langsung ketawa puas banget. Idihh, dasar. Iseng banget. Aku mencubit pinggang Abi berkali-kali, biarin deh. Enak aja gitu ngerjain aku. Tapi, candaan kami terhenti ketika Pak Guru Fisika Killer masuk. Bisa-bisanya awal masuk udah dapet guru killer. Fisika, lagi. Aku dan Abi tidak berani macam-macam. Bukan hanya kami sih, teman-teman yang lain juga langsung diam. Sepi, hening. Setelah berdoa, pelajaran jam pertama dimulai.
Pelajaran hari ini berjalan dengan sukses. Aku pulang barengan Abi. “Yuk, pulang, Bi. Kita kan mau beres-beres,” kataku sambil menarik-narik tangan Abii dengan semangat. “Iya iya, Neng, sabar. Masih masuk-masukin buku, nih. Keburu amat sih? Lagian dari kemaren manggilnya Bi Bi terus. Hubby? Ahahaha”. Aku tidak menjawab candaanya, memperhatikan mata Abi. Matanya merah, berair juga, seperti kurang tidur. “Abi, kemarin tidur jam berapa? Mata kamu merah, tuh,” kataku penasaran. Pasti Abi tidurnya malem banget. “Eh masa? Aku kemarin tidur jam 9 kok. Oh, kelilipan kali,” katanya seperti mencoba meyakinkanku, lebih tepatnya seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Tidak mungkin, kenapa aku merasa ada yang tidak beres dengan Abi, ya? Tadi, selama pelajaran Abi juga keliatan ngantuk terus. Tapi, aku tidak mau berpikiran buruk tentangnya. Masa aku su’udzon sama sahabatku sendiri? Aku nggak mau persahabatan ini, yang sudah 12 tahun lamanya rusak hanya karena perasaan su’udzon yang tiba-tiba ini.
Tak lama kemudian, Abi selesai beres-beres. Kami menuju parkiran, setelah Abi mengambil motornya, kami langsung menuju rumah kontrakan Abi. “Eh Abi, awas ada mobil tuh. Hei, kamu ngantuk, ya? Udah, udah kamu minggirin aja deh motornya. Aku aja yang nyetir sini”. Aku sudah berkali-kali mengingatkan Abi, dia seperti tidak konsentrasi. Sepeda motornya kadang oleng, dia juga tidak memperhatikan apapun yang ada di jalan. Pikirannya seperti tidak fokus. Daripada kami kenapa-napa, akhirnya aku yang menyetir. Untung aja aku bisa nyetir motor. “Abi, kamu kayaknya mengalami masalah kesehatan yang serius, deh. Kamu yakin mau pindahan hari ini? Aku nggak maksa deh, besok juga nggak apa-apa kok”. Jujur ya, aku khawatir dengan keadaannya sekarang, walaupun aku nggak tahu masalah apa yang dihadapi olehnya. Bener-bener nggak tahu. “Aku nggak apa-apa dan nggak kenapa-napa, Adel”. Berkali-kali dia mengatakan itu. Aku terlalu kepo kali, ya? Tapi entah, berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa semua baik-baik saja dan itu tidak berhasil membuatku yakin 100%. Aku tetap beranggapan bahwa telah terjadi sesuatu pada Abi. Apakah dia punya penyakit bawaan atau semacamnya? Aku segera menghilangkan pikiran itu. Aku takut kalau itu benar-benar terjadi. Aku menambah kecepatan sepeda motor agar cepat sampai rumah Abi. Lebih cepat lebih baik.
Lima belas menit kemudian, kami selesai beres-beres. Tanpa buang-buang waktu, keluarga Abi dan aku segera berangkat. Aku yang mengendarai motor Abi sedangkan Dani tidur di mobil, aku yang menyuruh. Maunya sih tadi aku dibonceng sama dia, tapi kan dia sakit gitu. Aku nggak tega lah, akhirnya dia mengerti kekhawatiranku dan dia menurut saja. Aku kan sahabat yang baik. Pokoknya Dani nggak rugi, deh, punya sahabat sepertiku. Baik dan perhatian, sebagai sahabat. Oh, oke, jangan mengira aku akan menganggap Abi lebih dari sahabat. Aku tidak. Dani juga. Tentu saja, agar persahabatan kita awet selamanya. Aku nyaman dengan persahabatan kami, aku tidak mau persahabatan yang mulai kecil ini rusak karena perasaan cinta. Lagian, aku juga sudah punya pacar, namanya Zian. Aku jadian waktu mau kelulusan. Yang ini nggak usah diceritakan, deh. Cukup tau saja ya, kalau aku nggak jomblo hehe.
Tak lama kemudian, sampailah kami di rumah minimalis yang bercat kuning ini. Tepat di depan rumah ini, mama dan papaku keluar memberi sambutan kepada tetangga baru kami. Ya bukan tetangga baru juga sih, tetapi karena telah berpisah sekian lama, jadi kesannya seperti tetangga baru. Mama dan Tante Maya cipika-cipiki. “Adel, tante minta tolong, ya, kamu anter Abi ke kamarnya. Sudah di beresin, kok, sama Mbak Sri,” kata Tante Maya padaku. “Siap kerjakan, Tante,” kataku sambil hormat. Lalu, aku memapah Abi ke kamarnya dibantu Mbak Sri, pembantu mereka yang rajin itu. Duh, berat banget nih anak. Padahal nggak gendut-gendut amat. Akhirnya sampai juga di kamarnya, aku dan Mbak Sri membaringkannya di kasur. “Kalian keluar aja, aku mau istirahat”, kata Abi jutek. Kayak bukan Abii yang biasanya, nadanya datar. Apa dia marah sama aku? Apa sebenarnya dia nggak suka pindah lagi ke sini? Tuh, kan, selalu saja aku berpikiran buruk. Ya sudahlah, aku mengerti mungkin Abi benar-benar butuh istirahat. Aku segera keluar dan tidak tahu apa yang Abi lakukan di kamarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kecerdasan Ganda

Teori Revolusi Sosio-Kultural dan Penerapannya dalam Pembelajaran

Teori Sibernetik dan Penerapannya dalam Pembelajaran